Green-Dilemma

Muhammad Zaki Maarif
3 min readFeb 3, 2024

--

Photo by Rod Sot on Unsplash

Seberapa besar dampak pertemuan dalam pengambilan keputusan?

Tergantung. Tergantung siapa yang kamu temui. Tergantung level kepentingan dari suatu keputusan. Bila kamu memaksudkan pertemuan tersebut untuk meminta masukan, tentu kemungkinan besar ia akan berdampak besar bagi keputusanmu. Bila tidak, kemungkinannya jadi lebih kecil. Namun, bila Dia berkehendak, satu perjumpaan mendadak saja bisa membawa jawaban atas kegamangan dalam hidup.

Demikianlah yang saya alami. Lebih dari dua bulan lalu, saya bertemu kawan lama di salah satu kafe di daerah Jakarta Selatan. Pertemuan yang singkat setelah lama tak berjumpa. Selayaknya orang yang baru kembali reuni, tentu topik yang dibicarakan tidak jauh dari: how’s life?

Saya menceritakan keinginan saya melanjutkan studi di luar negeri dan kecenderungan saya mencari program studi dengan embel-embel ‘green’, ‘sustainability’, dan sejenisnya.

“Hati-hati, siapa tahu itu hanya greenwashing” celetuknya menanggapi.

Bagi yang belum tahu, greenwashing adalah bentuk tipuan pemasaran untuk membuat sesuatu tampak berkelanjutan.

Kebetulan semalam sebelum pertemuan tersebut, saya memang menonton konten Narasi terkait greenwashing (lucunya, dia juga ternyata baru saja menonton tayangan yang sama). Istilah tersebut masih melekat kuat di kepala. Maka mendengar celetukan tersebut, saya tak menampik sama sekali. Sebaliknya, selintas pikiran yang muncul adalah: benar juga.

Boleh jadi embel-embel itu memang tidak merepresentasikan keseriusan dalam upaya memperbaiki lingkungan. Boleh jadi itu hanya kulit luarnya saja. Kalau perusahaan besar bisa dengan mudah mengakali masyarakat, bagi saya bukan tidak mungkin institusi pendidikan (yang saat ini selalu berorientasi kebutuhan industri) melakukan hal yang sama.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut bergumul di kepala. Semakin intens selepas kami berpisah. Hingga akhirnya, beberapa hari setelah pertemuan itu, saya memutar kemudi rencana. Tujuan program studi saya berubah.

Pada dasarnya, pertemuan singkat tersebut bukan satu-satunya alasan mere-orientasi tujuan. Akan tetapi, ia berperan besar dalam memanggil ilmu yang selama ini hanya mengendap. Ilmu tersebut saya peroleh dari Ustadz Ugi Suharto dalam Daras Kitab Prolegomena.

“Setiap peradaban itu akan menghasilkan disiplin ilmu masing-masing.” Demikianlah kurang lebih perkataan beliau.

Peradaban Islam melahirkan disiplin ilmu hisab, falak, tafsir, fiqh, dan sebagainya. Di sisi lain, peradaban Barat melahirkan sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Disiplin-disiplin ilmu tersebut dibangun sesuai karakteristik peradaban yang mengonstruksinya. Masyarakat kemudian akan dijejali dengan disiplin-disiplin ilmu sesuai peradaban yang menghegemoni kehidupannya.

Pendidikan adalah pabrik masyarakat. Bila kita menyaksikan kondisi masyarakat saat ini dan tabiatnya terhadap sekitar cenderung negatif, maka patutlah kita mencurigai konsep dari model pendidikan yang berlaku di tengah masyarakat, termasuk disiplin-disiplin ilmu yang tersedia. Boleh jadi, pendidikan saat ini memang bertumpu pada pemikiran yang keliru nan merusak. Kalau sudah begitu, tentulah perombakan sistem pendidikan perlu ditempuh.

Akan tetapi, perbaikan dunia pendidikan bukan tugas yang mudah. Ia tidak segampang menekuni disiplin ilmu (termasuk yang mengelirukan) secara mendalam. Tidak juga semudah mengaitkan bidang ilmu modern dengan ajaran Islam pada level kulit luarnya saja (ayatisasi ilmu). Diperlukan perbaikan mendalam pada tingkat pondasi terdasar. Perbaikan yang mensyaratkan perjalanan panjang.

Kembali ke persoalan kelanjutan studi. Akhirnya saya merombak rencana awal dan menyusunnya kembali dengan mengikuti argumen Dr. Ugi tersebut. Saya tetap berencana mendalami Food Science, namun tanpa embel-embel green, dengan alasan bisa jadi perbaikan yang mereka upayakan itu malah justru membawa daya rusak yang lebih besar sebab telah keliru dari level pondasinya. Oleh karena itu, saya berencana (jika Allah izinkan) mendekatkan Food Science dengan ilmu-ilmu yang benar dan tingkatannya lebih tinggi, yaitu hakikat manusia sesuai pandangan hidup Islam.

Detailnya masih sulit untuk dituliskan saat ini. Bila telah tiba masanya, saya akan dengan senang hati menjabarkannya.

--

--

Muhammad Zaki Maarif

Writer | Passionate about Islamic Thought, Education and Sustainability