Jejak Itu Bernama Tulisan
Puluhan tahun lalu, bila ada yang menyebut jejak digital, tentulah orang sekitarnya menjadi kebingungan. Barangkali belum terbayang di benak mereka ada masa ketika setiap orang bebas berceloteh di depan publik secara virtual. Setiap orang bisa membangun medianya sendiri. Dan entah bagaimana persisnya proses persalinan dari teknologi digital, kini kita telah menikmatinya, bahkan meninggalkan jejak-jejak di sana.
Hampir seluruh orang, terutama generasi muda, saat ini punya jejak digital. Benda yang tadinya asing tersebut kini telah menjadi begitu familiar. Ia ramai diucapkan oleh penduduk internet itu sendiri. Kadang ia dimunculkan dalam rangka mempermalukan orang lain yang plin-plan. Kadang pula kita mengintip jejak digital sendiri, entah berakhir dengan perasaan menyenangkan atas kembalinya kenangan ataupun yang tak kalah sering pula: merasa geli dengan diri yang dulu. Suka atau tidak, demikianlah realitanya, jejak merupakan konsekuensi logis dari terlintasinya waktu.
Berbicara soal jejak, saya teringat pada Buya Hamka. Pertama, sebab beliau punya pesan terkenal, “Pemuda haruslah mempunyai cita-cita tinggi supaya hidupnya berarti. Apabila cita-cita tercapai terutama di hari tuanya, dia akan menekur melihat anak tangga yang dilaluinya dahulu dengan tersenyum”.
Kedua, yang lebih melekat dan sepertinya jarang diangkat adalah sepotong kisah beliau saat terpaksa mendekam di penjara. Kisah tersebut beliau tututkan sendiri pada pengantar untuk cetakan ke-XII buku Tasawuf Modern.
Kisah tersebut bermula dari fitnah keji. Adalah status tahanan politik yang mengantarkan beliau ke balik jeruji besi. Di sana proses interogasi atas tuduhan pengkhianat negara terselenggara. Tuduhan besar yang sama sekali tak berdasar. Bayangkan ulama tersohor yang telah berkontribusi demi kemaslahatan umat Islam di Indonesia tiba-tiba dihinakan dengan label tersebut. Siapa yang tidak murka?
Seberapa tinggi pun derajat keilmuan Buya Hamka, beliau tetaplah manusia. Murka yang tersulut ditahannya setengah mati. Begitu pula rasa remuk di hati. Di masa-masa depresi seperti itu, beliau banyak meratapi diri sendiri, hingga tibalah hasutan di dalam kepalanya (tentu saja dari setan yang terkutuk) untuk bunuh diri saja menggunakan pisau kecil yang tiba-tiba saja diingatnya masih tersimpan di dalam saku. Pergumulan hebat pun tak terhindarkan di dalam batinnya. Setelah hampir satu jam lamanya, alhamdulillah iman beliau menang.
Di antara perkataan beliau kepada diri sendiri ialah,
“Kalau engkau mati membunuh diri… ada orang yang berkata ‘dengan bukunya Tasawuf Modern dia menyeru agar orang sabar, tabah, dan teguh hati bila menderita satu percobaan Tuhan. Orang yang membaca bukunya itu semuanya selamat karena nasihatnya, sedang dirinya sendiri memilih jalan yang sesat”
Selepas pergumulan batin tersebut, beliau meminta kepada anak-anak yang membesuknya agar dibawakan buku Tasawuf Modern. Buku yang beliau baca kembali, di samping al-Quran. Melihat perbuatannya tersebut, seorang teman beliau pernah berujar “Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka”. Beliau tidak menampik, justru mengiyakan: beliau memberikan nasihat kepada diri sendiri.
Buya Hamka telah membuat jejak yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri di masa-masa terpuruk. Demikianlah sepatutnya jejak yang kita tinggalkan. Kalaupun belum bisa berdampak bagi kehidupan orang lain, setidaknya ia bermanfaat bagi diri sendiri. Kalaupun tidak saat ini, mungkin di masa depan. Maka saat iman sedang naik dan kehidupan terasa membaik, menulislah! Boleh jadi goresan pena tersebut kelak diperlukan saat hidup sedang mengalami fase terendah.
Dalam rangka mewujudkan jejak baik, perlulah kita terhadap ilmu. Sebab ilmu menyelamatkan manusia dari hawa nafsu. Sementara hawa nafsu selalu mendorong manusia kepada amalan-amalan yang meninggalkan jejak buruk atau setidaknya tak bermanfaat. Surat cinta yang ditulis untuk ikatan yang tak sah akan menggelikan atau malah memperburuk perasaan di masa depan. Jejak konten yang dibalut arogansi akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Kebohongan yang terlontar akan mengundang kebohongan berikutnya. Begitulah rupa jejak tanpa ilmu.
Seluruh manusia butuh ilmu dan membuat jejak kebaikan atas kepemilikan ilmu tersebut. Jejak yang akan memperbaiki diri sendiri di masa depan. Bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Sebab bukankah penyesalan atas “jejak-jejak” selama di dunia yang akan membelenggu manusia di hari akhir kelak?